Kamis, 22 Agustus 2013

Pelunakan Air Sadah


Pelunakan Air Sadah

Kesadahan merupakan sifat air yang disebabkan oleh adanya ion-ion bervalensi dua seperti ion Ca2+ dan Mg2+. Air sadah merupakan sebutan bagi air yang sedikit menghasilkan busa ketika dicampur sabun, sehingga menyebabkan terbentuknya gumpalan scum yang mencemari perairan dan meninggalkan kerak pada alat-alat dapur.
Reaksi air sadah dengan sabun:
Na(stearat) + Ca2+ → Ca(stearat)2 + Na+
Na(stearat) + Mg2+ → Mg(stearat)2 + Na+
Adanya ion-ion penyebab kesadahan akan membuat sabun kehilangan fungsiya dalam membersihkan kotoran dikarenakan ion Ca2+ dan Mg2+ bereaksi dengan ion negatif dari sabun membentuk gumpalan scum.
Air sadah biasanya dijumpai di daerah pegunungan berkapur. Hal ini dikarenakan air tanah pada daerah pegunungan berkapur mengalami kontak dengan batuan kapur yang terdapat pada lapisan tanah yang dilaluinya. Adanya senyawa-senyawa asam pada air dapat menyebabkan ion-ion Ca2+ dan Mg2+ melarut. Pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan telah dijelaskan konsep pengaruh pH terhadap kelarutan. Jika pH turun atau bersifat asam maka kelarutan garam dan basa sukar larut menjadi bertambah besar atau semakin mudah larut. Sebaliknya ketika pH naik atau bersifat basa kelarutan garam dan basa sukar larut menjadi berkurang atau semakin mudah mengendap.
Senyawa-senyawa asam yang terdapat pada air dihasilkan dari reaksi kesetimbangan antara CO2 dari udara dengan air, sehingga menghasilkan H2CO3 yang sifatnya asam.
Air sadah dapat diidentifikasi dari sifat fisis air tersebut. Air sadah biasanya terlihat agak keruh, namun ada juga yang tetap jernih seperti air biasa. Terkadang juga ada yang berwarna kekuningan. Warna kuning tersebut disebabkan oleh adanya ion besi yang terlarut di dalamnya.
Untuk lebih memastikan, air sadah dapat diuji dengan cara mengidentifikasi keberadaan ion penyebab kesadahan, yaitu ion Ca2+ dan Mg2+ atau dalam kimia biasa disebut sebagai analisis kualitatif unsur. Analisis kualitatif unsur ini dilakukan dengan cara mereaksikan air yang diduga bersifat sadah dengan pereaksi tertentu yang menghasilkan senyawa khas serta memiliki warna dan bentuk yang berbeda dengan unsur lain. Analisis kualitatif unsur Ca dapat dilakukan dengan mereaksikan sampel dengan senyawa karbonat yang biasanya menggunakan Na2CO3 atau (NH42CO3 menghasilkan endapan putih, senyawa sulfat, dan senyawa oksalat. Sedangkan analisis kualitatif unsur Mg dapat dilakukan dengan mereaksikan sampel dengan amonia (NH­3) yang menghasilkan endapan putih gelatin atau dengan dinitrogen hidrogen fosfat yang menghasilkan endapan putih kristalin.
Selain itu, cara yang lebih sederhana dapat mengujinya dengan sabun. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa air sadah lebih sedikit menghasilkan busa jika dibandingkan dengan air yang tidak bersifat sadah.
Berdasarkan anion yang diikatnya, kesadahan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a.  Kesadahan sementara
Kesadahan sementara apabila anion yang diikat oleh ion Ca2+ dan Mg2+ dalam air sadah adalah ion HCO3-. Dalam hal ini, senyawa yang terdapat pada air sadah sementara adalah Ca(HCO3)2 dan Mg(HCO3)2.
b.  Kesadahan tetap
Kesadahan tetap apabila anion yang diikat oleh ion Ca2+ dan Mg2+ dalam air sadah adalah ion Cl-, SO42- atau NO3-.
Cara untuk menghilangkan kesadahan dapat dilakukan dengan cara pemanasan. Namun, pemanasan dapat digunakan hanya untuk menghilangkan kesadahan sementara. Reaksi yang terjadi:
Ca(HCO3)2 → CaCO3 + H2O + CO2
Pada pemanasan tersebut setelah didiamkan selama 30 menit maka akan dihasilkan endapan putih. Setelah itu dapat disaring dengan untuk memisahkan endapan dari airnya. Pemanasan ini dapat digunakan untuk membedakan sampel yang diuji termasuk ke dalam kesadahan sementara atau tidak.
Penghilangan kesadahan tetap dapat dilakukan dengan cara reaksi pengendapan. Cara ini dilakukan dengan menambahkan senyawa kimia tertentu yang dapat menghasilkan senyawa yang memiliki kelarutan yang kecil. Dengan begitu akan membentuk endapan yang dapat dipisahkan dari air. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah garam-garam karbonat seperti K2CO3, Na2CO3, (NH4)2CO3 dan lain sebagainya. Padatan Na2CO3 adalah senyawa yang paling sering digunakan. Penambahan garam-garam karbonat bertujuan untuk membentuk garam-garam kalsium dan magnesium yang tidak larut, sehingga dapat diendapkan dan dapat dipisahkan dari air. Garam kalsium yang terbentuk adalah endapan putih CaCO3 , sedangkan garam magnesium yang terbentuk adalah endapan putih MgCO3. Endapan yang terbentuk cukup lama tergantung konsentrasinya. Oleh karena itu, untuk mempercepat terbentuknya endapan dapat dilakukan dengan menambahkan padatan NaOH. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai pH dan juga dapat membentuk endapan putih gelatin Mg(OH)2 atau Ca(OH)2 yang memiliki kelarutan kecil dalam air.
Perlu diperhatikan penambahan NaOH dikhawatirkan dapat meningkatkan pH air, oleh karena itu perlu benar-benar diperhitungkan jumlah NaOH yang ditambahkan. Oleh karena itu, pada akhir setelah diperoleh air yang bebas dari kesadahan, jangan sampai membuat masalah baru dengan bertambahnya nilai pH. Air yang baik digunakan untuk madi atau mencuci berada pada pH kisaran 6,6-7,5. pH air dapat diuji dengan indikator universal.
Setelah dilakukan pelunakan, perlu diuji kembali apakah sudah hilang atau belum kesadahannya. Jika belum pikirkan kembali kemungkinan ada kesalahan dalam pelunakan air sadah atau mungkin harus dilakukan berulang kali sampai hilang ion-ion penyebab kesadahannya.

Minggu, 18 Agustus 2013

Pengolahan Limbah Cair rumah tangga


Pengolahan Limbah Cair secara Sederhana
Limbah cair merupakan limbah berwujud cair yang keberadaannya tidak diharapkan. Limbah ini dapat dihasilkan dari kegiatan Industri serta kegiatan rumah tangga. Kali ini kita akan bahas cara mengolah limbah cair yang berasal dari rumah tangga. Penanganan limbah cair rumah tangga dapat dilakukan dengan membuangnya dalam sepitack namun hal ini dikhawatrirkan akan menyebabkan kebocoran pada tanah dan menyebabkan pencemaran tanah. Solusi alternatif yang ada yaitu menggunakan sepitanck yang berbentuk tabung diproduksi oleh beberapa perusahaan namun tidak semua lapisan masyarakat mampu untuk membelinya selain itu masalah penggunaan sepitanck ini juga sulit diterapkan didaerah padat sekitar kota-kota. Dan faktanya sebagian besar masyrakat dikota membuang limbah ke saluran air atau selokan. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran air dan merusak lingkungan sekitar.  Oleh sebab itu kita akan mencoba menerapkan pengolahan air ke dalam pengolahan limbah rumah tangga. Pengolahan air meliputi  koagulasi, netralisasi, adsorpsi dan desinfeksi.
Adapun tahap yang dapat dilakukan yaitu Adsorpsi, Koagulasi, Netralisasi dan Desinfeksi:
  1. Langkah pertama adalah adsorpsi dimana adsorpsi sering dimanfaatkan untuk menghilangkan bau, rasa dan warna. Adapun bahan yang biasa digunakan untuk adsorpsi adalah karbon aktif, zeolit, lumpur aktif dan silika gel. Bahan-bahan tersebut dikenal dengan adsorben. zat-zat penyebab bau, rasa dan warna akan ditarik oleh permukaan sorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja pada permukaan tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa pada proses adsorpsi ini terlibat gaya-gaya antar molekul untuk menghilangkan bau rasa dan warna, gaya antar molekul yang paling mungkin adalah gaya Van der Walls. Adsorben yang paling sering digunakan adalah karbon aktif yang mudah didapat serta ekonomis.
  2.  Langkah selanjutnya adalah koagulasi, langkah ini dilakukan bertujuan untuk menghilangkan partikel koloid yang sulit dipisahkan dengan penyaringan biasa. Kekeruhan yang ada pada limbah umumnya stabil hal ini dikarenakan terdapat partikel koloid terlarut didalamnya, sedangkan partikel suspensi akan mengendap di dasar. Keadaan seperti ini (keruhnya air limbah) akan terus berlangsung jika kestabilan koloid dalam limbah tidak diganggu oleh sebab itu untuk mengganggu kestabilan koloid dapat dilakukan dengan cara koagulasi yaitu proses penggumpalan partikel-partikel koloid dan pengendapannya. Koagulasi ini dapat dilakukan dengan menambahkan suatu zat yang disebut koagulan, ada bermacam-macam koagulan diantaranya tawas, FeCl3, PAC, FeSO4 dan lain-lain.  umumnya koagulan yang paling sering digunakan adalah tawas hal ini dikarenakan mudah diperoleh dan ekonomis. Dengan penambahan koagulan maka limbah perlahan menjadi jernih  yang selanjutnya perlu dilakukan penyaringan untuk memisahkan partikel koloid yang terendapkan dengan zat cairnya.
  3. Langkah selanjutnya adalah netralisasi, langkah ini perlu dilakukan karena penggunaan tawas sebagai koagulan akan menyebabkan limbah menjadi asam dan jika dibiarkan akan merusak lingkungan. Oleh sebab itu, perlu ditambahkan zat lain yang dapat menetralkan pH dari limbah. Untuk koagulan tawas biasanya digunakan Ca(OH)2 untuk menetralkan pHnya, namun penggunaan Ca(OH)2 memungkinkan timbulnya limbah baru yaitu air sadah yang disebabkan oleh Ca2+. selain  Ca(OH)2 juga bisa menggunakan CaCO3 atau Na2CO3 atau garam-garam lain yang bersifat basa. Jika limbah bersifat asam tentu dapat dinetralkan oleh asam atau garam-garam yang bersifat asam seperti NH4Cl dan lain sebagainya.
  4. Langkah  terakhir adalah desinfeksi. Langkah ini diambil untuk membunuh bakteri yang terdapat dalam limbah, bahan yang digunakan disebut desinfektan adalah senyawa klorin seperti asam hipoklorit, ion hipoklorit dan lain-lain. Cara lain juga dapat digunakan seperti dengan ozon, dan dengan pemanasan.
Setelah selesai pengolahan tentunya kita harus mampu memastikan apakah limbah sudah aman bagi lingkungan atau tidak hal ini dapat ditempuh dengan beberapa uji terhadap sifat-sifatnya.

Rabu, 27 April 2011

Ibnu Maskawih dan Ibnu Thufail

Pemikiran Ibnu Maskawih dan Ibnu Thufail
Posted on 24. May, 2008 by ave in Pemikiran
RANAH filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang. Sebut saja tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Selain tokoh-tokoh tersebut, masih ada banyak nama-nama besar dalam khazanah filsafat Islam. Dua nama diantaranya adalah Ibnu Maskawaih dan Ibnu Thufail. Ibnu Maskawaih terkenal dengan pemikiran tentang al nafs dan al akhlaq, sedangkan Ibnu Thufail terkenal dengan pemikirannya yang salah satunya tertuang dalam roman filsafatnya yang terkenal Hayy bin Yaqdhan.
Membahas pemikiran seorang tokoh seperti Ibnu Maskawaih dan ibnu Thufail akan menjadi menarik dan terus menarik sepanjang perkembangan khazanah intelektual muslim. Bukan saja karena corak pemikiran kefilsafatannya, namun juga karena salah satunya (seperti Ibnu Thufail) gemamenuangkan idenya melalui kisah-kisah ajaib yang penuh kebenaran sehingga semakin megukirkan nama besarnya.
Makalah ini merupakan hasil kajian penulis melalui beberapa literatur tentang pemikiran Ibnu Maskawaih dan Ibnu Thufail. Tentang Ibnu Maskawaih, penulis membatasi diri seputar filsafat al nafs dan akhlaq, sedangkan mengenai Ibnu Thufail penulis berupaya menganalisis hasil karya yang berjudul hayy bin yaqdhan yang penuh lambang diantaaranya pengetahuan tentang Tuhan serta kewajiban berbuat baik dan buruk.
Ibnu Maskawih
1. Riwayat Hidup Maskawaih
Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya[1].
Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M[2].
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[3].
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.
Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2) Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
3) Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik[4].
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta[5].
b. Filsafat Akhlaq
Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya[6].
Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik.
Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq[7].
IBNU THUFAIL
1. Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Abd al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail. Ia merupakan pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Thufail lahir pada abad VI H di kota Guadix, propinsi Granada. Keturunannya merupakan keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.
Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan tersebut, ia diangkat sebagai sekretaris Gubernur di propinsi itu. Pada tahun 1154 M (549 H) ia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, penguasa Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi serta menjadi qadhi di pengadilan pada masa Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H – 580 H)[8].
2. Falsafah Hayy bin Yaqdhan
Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif Ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya. Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang diberi nama hayy bin yaqdhan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi).
Hasil karya Ibnu Thufail ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward Pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu Thufail. Pada masa selanjutnya, karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut di sebut oleh Ibnu Thufail sebagai hay bin yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari diambil anak oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqdhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat hay bin yaqdhan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.
Sampai pada suatu saat, matilah kijang yang mengasuhnya. Hal tersebut mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut. Tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku. Maka hayy bin yaqdhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir.
Selain dari pada itu, pada suatu hari hayy bin yaqdhan menyalakan api di pulau tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap. Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Hayy bin yaqdhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan, dan yang di maksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” ( haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap peristiwa baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya membawa hayy bin yaqdhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian hayy bin yaqdhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulang-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang. Tidak cukup dengan itu, hayy bin yaqdhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa-apa yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaan-Nya, maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna ( The perfect one ) lagi kekal dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqdhan pada umurnya yang ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat ) sang wajibul wujud (The necessary being).
Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqdhan. Dan Hayy bin yaqdhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaa’ kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu ( syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal.
Kedua orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama[9].
Dan melalui interaksinya dengan Hayy bin Yaqdhan, maka Absal pun tahu bahwa apa yang telah dicapai Hayy dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah di bawa oleh nabi-nabi.
Dan kemudian Absal pun membawa Hayy bin yaqdhan kepada kaumnya, dan mulai berorasi dan memperingatkan kaumnya (sebagaimana para nabi) dengan apa-apa yang telah ia lihat dan dapatkan dari pengalamannya tentang kesejatian hidup, keremehan harta benda dan pentingnya merenungi tanda-tanda kekuasaan Sang pencipta. Tetapi ia terlalu vulgar dalam penyampainnya, sehingga kaumnya pun menghindarinya karena menganggapnya menyimpang dari pemahaman literar matan-matan kudus wahyu. Akhirnya Hayy bin yaqdhan berpaling kepada Absal dan berkata bahwa nabi-nabi lebih tahu tentang jiwa-jiwa manusia dari pada dirinya dan pelajaran-pelajaran dan pengalaman yang ia capai ketika masih hidup di pulau bersama hewan-hewan itu lebih tinggi dan adi luhung dari fase manusia yang ia hadapi sekarang. Dan akhirnya Absal pun menemani Hayy bin yaqdhan hidup bersama-sama dengannya beribadah dan merenung sampai maut menjemput mereka.
Jika dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:
1) Hayy bin Yaqdhan, sebagai lambang kekuatan akal dalam mencapai suatu kesimpulan atas keyakinan kepada Tuhan. Dengan memikirkan alam dengan isinya serta dirinya sendiri, lambat laun sampai pada keyakinan kepada Tuhan.
2) Tokoh Absal, sebagai lambang hidup tokoh agama, yang dengan memikirkan wahyu sebagai kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan kepada Tuhan. Dari sini terlihat kesesuaian antara agama dan filsafat.
3) Keadaan di sekitar, sebagai lambang fakta-fakta kehidupan.
Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa ada kesinambungan secara hierarkhis antara ilmu, agama, dan filsafat. Kijang yang mati merupakan fakta yang bisa menjadi bahan renungan Hayy bin Yaqdhan, apa di balik kematian itu? (ketika berbicara “di balik”, merupakan wilayah filsafat).
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja. Dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik (kasyaf) dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.
PENUTUP
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah pemikiran lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan dianggap berilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Karena itu, kajian-kajian mengenai tokoh-tokoh Islam berkenaan dengan khazanah intelektual Islam masih perlu ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.
Biografi Singkat Al Farabi
Author: Gudang Tips Dan Ilmu Pengetahuan // Category: Artikel, Sejarah
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
Pada masa mudanya, di kota kelahirannya, al-Farabi banyak belajar beragam disiplin ilmu, mulai dari fikih, tafsir, hingga logika. Namun semua penjelasan gurunya tidak memuaskan dirinya. Al-Farabi kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu. Di Baghdad inilah, al-Farabi bertemu sekaligus belajar dengan orang-orang terkenal dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Al-Farabi belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr al-Sarraj; belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius (seorang Kristen Nestorian) yang banyak menerjemah filsafat Yunani dan Yuhana bin Hailam (juga seorang filosof Kristen). Al-Farabi bahkan sempat pergi ke Harran, daerah yang berada di wilayah tenggara Turki yang dikenal sebagai pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Daerah Harran ini pula lah, konon orang tua nabi Ibrahim as. lahir dan dibesarkan, sekaligus menjadi tempat lahirnya bapak para nabi itu.

Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru pertama”-nya disandang oleh Aristoteles. Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.
Setelah melakukan petualangan cukup lama di Baghdad, sekitar 20 tahun, al-Farabi pergi ke Damaskus ketika berumur 75 tahun (sekitar tahun 945 M). Di ibukota Suriah inilah, al-Farabi berkenalan dengan Sultan Saif ad-Daulah, penguasa Dinasti Hamdan di Aleppo, wilayah Suriah bagian utara yang dikenal sebagai negeri industri. Sultan memberi al-Farabi jabatan sebagai ulama istana dengan banyak fasilitas kerajaan yang mewah. Namun fasilitas mewah itu ditolaknya dan hanya mau mengambil sekitar 4 dirham saja per hari sekedar untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari secara sederhana. Di negeri Aleppo ini, al-Farabi banyak berkenalan dengan para ahli di berbagai disiplin ilmu pengetahun: sastrawan, penyair, ahli fikih, kalam, dan lainnya. Sisa dari gaji yang diterima dari kerajaan, digunakan al-Farabi untuk kepentingan sosial dan dibagi-bagikan pada kaum fakir miskin di sekitar Aleppo dan Damaskus. Pada tahun 950 M, al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia 80 tahun.
Sekilas tentang Pemikiran Filsafatnya.
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah berjudul Ārā` Ahl al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara Utama). Menurut al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesempurnaan, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama. Hubungan kerjasama setiap individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya masyarakat. Menurut al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum, seperti: 1) kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana; 5) cinta keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.
Di samping karakter umum, al-Farabi juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus memiliki daya profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql mustafād agar mampu menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal ke-10 (jibril). Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai tingkatan itu sulit ditemukan atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa diganti oleh seorang filosof, karena dia juga mampu sampai pada tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria filosof juga belum ditemukan, maka negara bisa dipimpin secara kolektif dalam bentuk semacam presidium. Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin itu, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara (orator) dan komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah al-fādhilah (negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak) yang ditandai dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq), gonjang-ganjing (tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).
Pemikiran al-Farabi yang lain lagi adalah soal teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w. 925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi). Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi.
Demikian sekilas soal al-Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta-kasih pada sesama. Semoga…!!!

Mesopotamia

Peradaban Mesopotamia

Peradaban Mesopotamia tumbuh dan berkembang di Timur Tengah, tepatnya di kawasan subur antara Sungai Eufarat dan Tigris. Oleh orang Yunani daerah itu dijuluki Mesopotamia, dari kata mesos yang berarti di antara dan potamos yang berarti sungai-sungai. Di daerah subur itu silih berganti muncul peradaban dari bangsa yang berbeda. Uniknya, meskipun saling menaklukkan, keunggulan peradaban bangsa yang takluk, dilanjutkan oleh bangsa yang menang.
Peradaban Sumeria
Sejak tahun 500 SM, bangsa Sumeria mengusahakan lahan pertanian di sebelah selatan Mesopotamia. Mereka mengembangkan kebudayaan yang disebut Ubaid. Lama-kelamaan mereka mengetahui cara meningkatkan hasil pertanian, seperti membangun saluran irigasi untuk mengairi lahan sekaligus menanggulangi banjir musiman.
Kawasan subur Mesopotamia yang dikelilingi pegunungan Tandus.
Berlimpahnya hasil pertanian mengakibatkan populasi meningkat. Keadaan itu mendorong munculnya kota-kota. Kota-kota yang terkenal antara lain Eridu, Ur, Uruk. Munculnya kota-kota menandai babak baru dalam peradaban Sumeria. Masyarakat Sumeria semakin majemuk, bukan lagi hanya petani, melainkan terdapat beragam profesi dan status, seperti pedagang, tukang, dan pendeta.
Sistem Pemerintahan
Pada awalnya masing-masing kota Sumeria berdiri sendiri menjadi semacam negara-kota. Tiap kota diperintah oleh suatu dewan yang terdiri atas para orang tua. Khusus pada masa perang, pimpinan beralih kepada seorang panglima yang disebut lugal. Ia menjadi pemimpin sampai perang berakhir.
Persaingan dan perebutan di antara kota-kota mengakibatkan peperangan sering terjadi. Keadaan diperburuk oleh serangan dari suku-suku nomad. Peperangan yang berlarut-larut membuat kedudukan para lugal semakin permanen. Mereka memerintah untuk waktu yang lama, kemudian untuk seumur hidup. Keadaan tersebut mendorong sistem pemerintahan di setiap kota berubah menjadi kerajaan. Sejak tahun 2900 SM, kedudukan lugal telah berubah menjadi raja.
Setelah sempat dikuasai oleh Akkadia lalu Gutia, peradaban Sumeria bangkit kembali di bawah pemerintahan Ur-Nammu. Di bawah pemerintahannya, kota-kota Sumeria dipersatukan. Akan tetapi, kejayaan itu hanya bertahan 100 tahun. Bangsa Elam menyerang dan menguasai kota-kota Sumeria. Meskipun demikian, bangsa yang menguasai kawasan itu tetap melanjutkan peradaban Sumeria.
Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan Sumeria bercorak polytheisme. Bangsa Sumeria menyembah ratusan dewa-dewi. Bagi mereka, memuja dan memberikan persembahan kepada dewa-dewi amat penting agar tetap makmur. Jika tidak, dewa-dewi akan marah dan menjatuhkan hukuman dalam wujud banjir dan perang.
Masing-masing kota memiliki dwa pelindung. Dewa itu akan memelihara keberlangsungan kota. Dewa-dewi lainnya dikaitkan dengan segi-segi kehidupan sehari-hari.
Dewa-dewi Sumeria
Enhil, dewa udara sekaligus dewa tertinggi
Ninhursag, istri Enhil sekaligus dewi tertinggi
Enki, dwa air dan pelindung ilmu pengetahuan serta sihir
Nanna (kemudian disebut Sin), putera Enhil sekaligus dewa bulan
Utu (kemudian disebut Shamash), putera Nanna sekaligus dewa matahari
Innana (kemudian disebut Itsar), dewi cinta sekaligus perang

Sistem Tulisan
Salah satu jasa bangsa Sumeria bagi sejarah dunia adalah penemuan sistem tulisan. Sejak tahun 400 SM bangsa Sumeria telah mengembangkan sistem tulisan. Sistem tulisan itu muncul seiring dengan pertumbuhan kota-kota yang cepat. Pertumbuhan kota melahirkan kebutuhan akan catatan-catatan, seperti kronik peristiwa penting dan jumlah panenan serta ternak yang harus diserahkan ke kuil pemujaan untuk persembahan.
Sistem tulisan Sumeria berupa tulisan gambar (pictograp). Orang Sumeria menulis pada tablet, yakni lempengan tanah liat. Sebagai alat tulis, digunakan semacam paku. Itulah sebabnya, sistem tulisan Sumeria dikenal sebagai huruf paku.
Dalam perkembangannya, sistem penulisan Sumeria mengalami modifikasi ke dalam bentuk lambang-lambang. Sistem penulisan ini selanjutnya dipakai oleh bangsa-bangsa yang menguasai kawasan Mesopotamia.
Bangunan Kuil
Tata kota bangsa Sumeria tidak bia dilepaskan dari bangunan kuil. Orang Sumeria percaya bahwa kota bukan milik mereka, melainkan para dewa-dewi. Oleh karena itu, harus ada bangunan kuil di pusat kota. Besar dan kecilnya kuil tergantung dari kemakmuran kota yang bersangkutan.
Bangsa Sumeria mempunyai cara tersendiri dalam bembangun kuil. Secara bertahap mereka memperbarui kuil sesuai dengan tingkat kemakmuran kota. Saat memperbarui, mereka membangun kuil baru di atas kuil yang lama. Begitu seterusnya sehingga kuil semakin tinggi dan berundak-undak. Model bangunan seperti itu disebut ziggurat. Model bangunan kuil seperti itu terus dilanjutkan oleh bangsa-bangsa lain yang menduduki kawasan Mesopotamia.
Peradaban Akkadia
Bangsa Akkadiatermasuk rumpun Semit yang tinggal di wilayah sebelah utara Sumeria. Pada tahun 2371 SM, pasukan Akkadia di bawah pimpinan Sargon menyerang dan menguasai kota Sumeria bernama Kish. Peristiwa itu menandai mulainya peradaban Akkadia di Mesopotamia.
Sargon adalah seorang administrator sekaligus panglima yang unggul. Ia menyatukan kota-kota di kawasan Mesopotamia menjadi satu kerajaan besar. Ia pun memperluas pengaruh sampai ke Mediterania (tepi Laut Tengah) di sebelah barat dan sampai ke Elam di sebelah timur.
Peradaban Akkadia tidak jauh berbeda dengan peradaban Sumeria. Bahkan boleh dikatakan, peradaban Akkadia melanjutkan peradaban Sumeria. Dengan demikian, sistem kepercayaan, sistem tulisan, maupun tata kota serupa dengan peradaban Sumeria.
Peradaban Akkadia hanya berlangsung singkat, seusai usia pemerintahan Sargon. Setelah Sargon meninggal, kerajaan terpecah belah. Kerajaan sempat pulih semasa pemerintahan Naram-Sin. Namun, tidak bertahan lama. Pemberontakan dari dalam dan serangan bangsa Gutia mengakhiri peradaban Akkadia.
Peradaban Babylonia Lama
Peradaban Babylonia lama disebut juga Peradaban Amoria. Bangsa Amoria termasuk rumpun Semit. Bangsa ini mulai berpengaruh di kawasan Mesopotamia sekitar tahun 2000 SM. Estela menaklukkan Sumeria, Akkadia, dan Asiría, bangsa ini mendirikan kota-kota sekaligus mengembangkan peradaban di kawasan Mesopotamia.
Tokoh termasyur dari bangsa tersebut hádala Hammurabi. Pada tahun 1792 SM, ia naik tahta di kota Babilón, pusat kerajaan Amoria di tengah kawasan Mesopotamia. Sebetulnya, kerajaan itu sudah ada beberapa ratus tahun sebelumnya. Di bawah pemerintahan Hammurabi, Babylonia memperluas pengaruh sampai ke Sumeria dan Akkadia. Ia juga menaklukkan Gutia, Elam, dan Asiría.
Kejayaan Babylonia lama langsung surut estela Hammurabi meninggal. Tidak ada lagi pemimpin Amoria setangguh Hammurabi. Pada tahun 1590 SM, kota Babylonia jatuh ke dalam kekuasaan bangsa Hittite. Peristiwa itu menandai berakhirnya peradaban Babylonia lama.
Peradaban Babylonia lama boleh dikatakan melanjutkan peradaban yang sebelumnya hidup di Mesopotamia. Baik sistem pemerintahan, sistem tulisan, dan tata kota tidak jauh berbeba dengan peradaban sebelumnya. Namun, ada dua hal yang menjadi ciri khas peradaban Babylonia lama, yakni Codex Hammurabi dan sistem kepercayaan.
Codex Hammurabi
Peninggalan amat bernilai dari peradaban Babylonia lama adalah undang-undang. Hammurabi adalah seorang panglima sekaligus negarawan yang unggul. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyat, keamanan negara, dan stabilitas ekonomi serta politik. Semua hal itu tidak mungkin tercapai kalau tidak ada kepastian hukum. Untuk itu, Hammurabi membuat undang-undang, yang terkenal dengan sebutan Codex Hammurabi.
Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan bangsa Amoria tidak jauh berbeda dengan Sumeria. Mereka percaya bahwa beragam peristiwa alam dan nasib manusia telah digariskan para dwa-dewi. Oleh karena itu, kepercayaan bangsa Amoria adalah polytheisme. Meskipun demikian, kepercayaan bangsa Amoria memiliki kekhasan tersendiri. Kepercayaan itu merupakan paduan pengamatan ilmiah terhadap alam semesta (langit) serta cuaca, tata cara pemujaan dewa-dewi yang dianggap sebagai pelindung, dan sihir (magic). Kepercayaan seperti itu menjadi batu loncatan bangsa Amoria untuk mengenal astrologi (ilmu yang mempelajari keterkaitan benda-benda langit dengan kehidupan dan peristiwa di atas bumi).
Dewa-dewi yang disembah bangsa Amoria serupa dewa-dewi orang Sumeria. Hanya namanya yang berbeda. Dewa tertinggi bangsa Amoria adalah Marduk. Mula-mula Marduk hanya sebagai dewa kota Babylon. Bersamaan dengan semakin pentingnya kedudukan kota Babylon di kawasan Mesopotamia, kedudukan Marduk pun semakin penting. Orang Amoria percaya bahwa Marduk adalah dewa yang bijaksana. Ia akan melindungi orang baik dan menghukum orang jahat.
Peradaban Assyria
Mula-mula bangsa Assyria menetap di hulu sungai Tigris, yakni di kota Ashur, Nineveh, Arbela, dan Nimrud. Kawasan tersebut pernah berada di bawah pengaruh Sumeria, kemudian Akkadia, dan Amoria. Bangsa ini sempat bangkit di bawah pimpinan Shamshi-Adad. Bahkan Assyria sempat menanamkan pengaruh di kota Mari dan Babylon. Sepeninggal Shamshi-Adad, Assyria kembali menjadi taklukan Hittite dan Amoria saat pemerintah Hammurabi.
Sekitar tahun 1300 SM, Assyria kembali bangkit di bawah pimpinan Ashur-ubalit I. Bangsa itu memerdekakan diri dari pengaruh bangsa-bangsa lain. Sejak saat itu, Assyria menadi kerajaan yang disegani di kawasan Mesopotamia. Mereka menguasai kawasan itu selama lenih dari 600 tahun. Kejayaan Assyria berakhir pada tahun 612 SM, saat kota Nineveh dan Ashur jatuh ke dalam kekuasaan bangsa Media dan Khaldea.
Peradaban Assyria melanjutkan peradaban sebelumnya. Meskipun demikian, ada tiga hal yang menjadi ciri khas peradaban Assyria, yaitu sistem pemerintahan, sistem kepercayaan, dan ilmu pengetahuan.

Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Assyria mengutamakan kehidupan kemiliteran. Semua raja Assyria adalah panglima militer yang unggul. Di samping itu, ciri militerisme Assyria tampak dari kecenderungan bangsa itu untuk menggalang pasukan, menyerang, dan menaklukkan wilayah bangsa-bangsa lain. Pasukan Assyria terkenal tangguh dan ditakuti. Akan tetapi, tindakan agresif Assyria itu pada gilirannya mengundang banyak musuh. Dalam pemerintahan, raja berkuasa mutlak dan mengusai segala aspek kegidupan. Hukum dijalan dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan saksi-saksi yang disumpah. Hukum yang dijalankan di Assyria adalah hukuman mati (hukuman pancung) dan memperkerjakan tawanan perang untuk kerja paksa.
Raja-raja Assyria
Shalmaneser I, yang merebut wilayah timur kerajaan Mitanni
Tiglathpileser I, yang menguasai kawasan Mediterania serta berperang melawan Aram dan Phrygia
Tiglathpileser III, yang menaklukkan Damascus (Damsyik) dan Phoenicia
Shalmaneser V, yang menaklukkan Kerajaan Samaria, di bagian utara Israel
Sargon II, yang menaklukkan Urartu dan membangun istana megah di Khosabad
Essarhaddon, yang merebut Memphis, di Mesir
Ashurbanipal II, yang menaklukan Thebe, Babylon, dan Susa

Sistem Kepercayaan
Sistem kepercaayan bangsa Assyria bersifat polytheisme. Dewa-dewi yang disembah sebetulnya berasal dari Sumeria, hanya namanya telah diganti. Dewa tertinggi bernama Ashur. Dari nama dewa itulah diperoleh nama kota Ashur dan bangsa Assyria. Raja dianggap sebagai wakil Ashur di muka bumi. Selain Ashur, makin banyak lagi dewa-dewi yang disembah bangsa Assyria. Seperti peradaban sebelumnya di Mesopotamia, orang Assyria menganggap dewa-dewi berkuasa menentukan nasib manusia serta menguasai langit, bumi, air, badai, dan api.

Dewa-dewi Assyria
Nabu, dewa ilmu pengetahuan dan pelindung juru tulis
Ninurta, dewa perang
Ishtar, dewa cinta

Ilmu Pengetahuan
Peninggalan tak ternilai dari peradaban Assyria di bidang ilmu pengetahuan berupa perpustakaan. Raja-raja Assyria telah membangun perpustakaan besar yang memuat banyak tablet (lempengan tanah liat) yang berisikan tulisan di bidang keagamaan, kesusastraan, pengobatan, sejarah, dan bidang ilmu lainnya. perpustakaan itu terdapat di Nineveh. Kebanyakan tablet berasal dari masa pemerintahan Ashurbanipal II .
Peradaban Babylonia Baru
Peradaban Babylonia baru disebut juga perdaban Khaldea. Kerajaan Babylonia baru didirikan oleh bangsa Khaldea estela dapat melepaskan diri dari bangsa Assyria pada tahun 627 SM. Pada tahun itu, pasukan Khaldea di bawah pimpinan Nabopolassar berhasil merebut kota-kota penting Assyria. Keberhasilan itu juga berkat bantuan pasukan Media.
Sistem pemerintahan kerajaan Babylonia baru mewarisi dan meneruskan sistem pemerintahan Babylonia lama. Raja Babylonia baru yang terkenal adalah Nebuchad-nezzar II. Pada masa pemerintahannya, Babylonia baru mencapai kejayaan. Ketika itu, wilayah kerajaan Babyonia baru meliputi seluruh Mesopotamia, sebagia Arab, Palestina, dan Mediterania. Kerajaan Babylonia baru berlangsung kurang dari 100 tahun. Sepeninggal Nebuchad-nezzar II, Babylonia baru mengalami kemunduran raja terakhir bernama Nabonidus. Setelah raja tersebut, berturut-turut Babylonia berada di bawah pengaruh Persia, Macedonia, dan Seulecid.
Perdaban Babylonia baru melanjutkan peradaban selanjutnya, terutama Babylonia lama. Meskipun demikian, ada hal yang menjadi ciri khas peradaban Babylonia baru yaitu tata kota dan ilmu pengetahuan.
Tata Kota
Peradaban Babylonia baru memperlihatkan kemampuan membangun kota secara menakjubkan. Kota di bangun mengurut perencanaan dan tata kota yang teratur. Prestasi bangsa Khaldea dalam membangun kota paling jelas semasa pemerintahan Nebuchad-nezzar II. Kota Babylon menjadi indah dan megah. Pintu masuk ke dalam kota berupa gerbang yang megah yang disebut gerbang Ishtar. Sedangkan di dalam kota, terdapat bangunan ziggurat raksasa berupa kuil dewa Marduk. Selain itu, terdapat juga taman gantung Babylon yang menjadi salah satu keajaiban dunia.
Ilmu Pengetahuan
Bagsa Khaldea telah mempunyai kemampuan yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan. Di bidang matematika, mereka dapat menghitung keliling dan luas lingkaran dengan rumus tertentu. Dalam hitungan waktu, mereka telah menggunakan perhitungan minggu (satu minggu sama dengan tujuh hari), satu hari di bagi menjadi 24 jam, tiap jam dibagi menjadi 60 menit. Merekapun telah mengenal bilangan pecahan, kuadrat, dan akar.
Keunggulan bangsa Khaldea dalam ilmu pengetahuan juga tampak di bidang astronomi. Mereka mampu meramalkan kapan akan terjadi gerhana bulan dan matahari.

Peradaban Persia
Peradaban Persia didirikan oleh bangsa Media dan Persia yang hidup di sebelah timur Mesopotamia. Kedua bangsa itu mula-mula bersekutu, namun kemudian bersaing dan saling menaklukkan. Kerajaan yang pertama muncul adalah kerajaan Media. Raja Media yang termasyur adalah Cyaxares. Semasa pemerintahannya, pasukan Media bersekutu dengan Khaldea menggulingkan Assyria. Setelah lebih dari 100 tahun di bawah pengaruh Media, bangsa Persia bangkit menaklukkan Media. Ketika itu, pasukan Persia dibawah pimpinan Syrus II berhasil mengalahkan pasukan Media di abaeah pimpinan Hstyages. Sejak saat itu kerajaan Persia terus menapak mencapai puncak kekuasaan.
Puncak kebesaran negara Persia terjadi pada masa pemerintahan Darius Agung. Semasa pemerintahannya kekuasaan Persia meliputi seluruh Mesopotamia, Mesir, sampai ke Lembah Indus. Semasa pemerintahnnya pula ibu kota kerajaan dipindahkan dari Persepolis ke Susa. Sejak tahun 465 SM, kerjaan Persia mengalami kemunduran. Kemunduran itu diakibatkan oleh peperangan yang berlarut-larut melawan Yunani. Keadaan diperburuk oleh persaingan berebut kuasa dan pengaruh diantara kalangan bangasawan. Semakin lemahnya pemerintah pusat membuka kesempatan bagi kerajaan takluk untuk memberontak dan melepaskan diri. Akhirnya, pada tahun 330 SM Persia takluk terhadao Machedonia yang dipimpin oleh Alexander Agung.



MESOPOTAMIA
Mesopotamia mempunyai arti daerah diantara dua sungai. Daerah ini, sekarang dinamakan Irak, merupakan daerah yang dialiri sungai Tigris dan sungai Efrat. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan disini bahwa sungai Tigris mengalir sejauh1850 km dari hulu mulai dari daerah Turki melewatiIrak ke Teluk Persia. Di daerah Irak Utara sungai ini mengalir melalui daerah pertanian yang subur yang banyak tumbuh pohon apel, jeruk serta padi-padian, ke arah Tenggara dan bertemu dengan sungai Efrat membentuk shatt Al Arab. Dari teluk Persia sungai Tigris dapat dilayari hingga ke Bagdad, ibukota Irak sekarang.
Sungai Efrat yang berawal dari daerah Turki Timur dan mengalir sejauh n2700 km melewati gurun pasir Suriah dan dataran rendah Irak, merupakan sungai terpanjang din Asia Barat. Sungai ini bertemu dengan sungai Tigris, dan membentuk Shatt Al Arab yang mengalir sejauh 190 km ke teluk Persia.
Daerah Mesopotamia mula-mula dikuasai oleh bangsa Sumeria. Daerah ini dikenal sebagai daerah yang memiliki peradaban yang tertua. Para ahli sejarah mencatat adanya dua kemajuan besar dalam perkembangan peradaban manusia yang telah terjadi di daerah Mesopotamia ini. Pertama, kemampuan bangsa Sumeria sekitar tahun 6500 SM terutama dibagian Utara, dan kedua dalam milenium ke 4 SM mereka mulai menggunakan lambang-lambang sebagai cara untuk menulis. Setiap lambang menggambarkan satu kata lengkap (piktografi). Didasarkan atas piktografi tersebut, mereka mengembangkan cara menulis menggunakan huruf atau aksara baku yang berbentuk baji (pahat) yang oleh serjana Inggris Thomas Hyde pada abad ke-17 diperkenalkan untuk pertama kali dengan nama “cuneiform” (cuneus berarti baji, forma berarti bentuk).
Di samping itu bangsa Sumeria telah memiliki pengetahuan terapan dan teknologi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Antara tahun 4000-2500 SM mereka telah mampu membuat dan mengembangkan penggunaan roda bagi alat angkut, membuat perahu, barang-barang dari keramik, bahkan pada sekitar tahun 3000 SM mereka juga telah mampu membuat barang-barang dari perunggu, yaitu paduan tembaga dengan timah. Perunggu memiliki sifat lebih keras daripada tembaga maupun timah, sehingga dapat dibuat barang atau alat yang mempunyai kekuatan lebih besar. Mereka juga telah menguasai teknik membuat barang-barang dari besi. Dalam hal pembuatan banguna mereka mampu membuat bangunan candi dengan arsitektur yang mengagumkan seperti tampak pada Ziggurat (candi Mesopotamia) yang terkenal itu. Disamping itu sumbang an mereka yang penting ialah bahwa mereka merupakan pencipta kalender akuarat yang pertama. Bangsa Sumeria telah menemukan sistem hitungan sexagesimal yang didasarkan atas jumlah enam sebagai satuan kelipatan. Dari sistem inilah bangsa Sumeria mengenal pembagian waktu satu hari terdiri dari 24 jam, satu jam terdiri atas 60 menit serta satu menit terdiri atas 60 detik yang hingga sekarang masih diguanakan orang diseluruh dunia. Begitu pula dengan pembagian lingkaran dalam 360 derajat. Pembuatan barang-barang , pendistribusiannya serta penggunaannya diatur dan dalam pengawasannya para rohaniwan pada waktu itu. Mereka inilah yang menentukan kebijakan serta peraturan bagi masyarakat.
Sebelum tahun 2500 SM bangsa Sumeria telah memiliki kemampuan berhitung menggunakan bilangan-bilangan. Kemampuan ini mereka gunakan untuk menghitung suatu besaran dalam kehidupan mereka, misalnya mereka membuat tabel perkalian untuk keperluan menentukan luas lahan, juga untuk mengukur volume suatu tumpukan atau timbunan barang atau hasil pertanian. Mereka telah dapat menghitung volume silinder dengan menentukan harga π sama dengan tiga.
Sekitar tahun 2300 SM bangsa Sumeria ditaklukan oleh bangsa Babilonia yang mendiami daerah Mesopotamia bagian selatan yaitu daerah Babilonia dengan ibukotanya Babilon yang merupakan pusat pemerintahan, pusat politik dan agama di Asia Barat. Bangsa Babilonia ini telah mengembangkan matematika dengan memperkenalkan bilangan pecahan. Mereka juga membuat tabel perkalian, bilangan pangkat dua, akar pangkat dua, dan akar pangkat tiga, serta telah mampu menyelesaikan persamaan kuadrat. Dalam hal geometri bangsa Babilonia telah mengetahui bahwa semua segi tiga yang terdapat dalam setengah lingkaran merupakan segitiga siku-siku. Disamping itu mereka membagi lingkaran dalam 360 derajat. Di sini pengetahuan matematika digunakan untuk keperluan astronomi dan perdagangan.
Bansa Babilonia mempunyai sumbangan besar terhadap perkembangan astronomi. Daerah Mesopotamia memiliki langityang senantiasa cerah, jarang berawan, sehingga pada malam hari bintang-bintangdan planet terlihat jelas.Hal inilah yang memungkinkan para rohaniwan Babilonia melakukan observasi tau pengamatan terhadap benda-benda langit yang tampak dan membuat catatan tentang peredaran benda-benda tersebut. Mereka memberi nama pada kelompok bintang-bintang dengan Gemini, Scorpio dan lain-lain. Selain itu dari pengamatan tersebut mereka meramalkan sesuatu kejadian yang akan datang. Misalnya warna merah planet Mars menandakan akan ada peperangan. D emikian pula nasib seseorang diramalkan melalui hari kelahirannya, yaitu bertepatan dengan kelompok bintang apa. Oleh karena mereka sangat tertarik oleh ramalan-ramalan dengan bintang-bintang ini, maka mereka sangat tekun mempelajari keadaan atau posisi bintang-bintang tersebut. Sekitar tahun 2000 SM bangsa Babilonia telah memiliki kalender. Mereka menetapkan bahwa satu tahun itu terdiri atas 360 hari dan dibagi dalam 12 bulan sehingga tiap bulan terdiri atas 30 hari. Mereka juga membagi 1 hari menjadi 2x12 jam, dan tiap jam dibagi kedalam 60 menit, kemudian tiap menit terbagi atas 60 detik. Pengetahuan mereka mengenai peredaran bintang maupun planet serta bulan dan matahari mereka gunakan untuk menetapkan arah mata angin, barat, timur, utara dan selatan. Hal ini tampak pada banguna candi-candi yang sisinya selalu menghadap ke arah mata angin.

Pengamatan mereka terhadap peredaran benda-benda langit makin teliti dan dalam milenium ke-2 SM mereka mengetahui bahwa planet Venus kembali ke posisi semula sebanyak lima kali selama delapan tahun. Pengamatan mereka ini sejak tahun 1000 SM terus ditingkatkan sehingga pada tahun 700 SM mereka melakukan pencatatan secara sistematik. Dengan demikian mereka dapat mengetahui peredaran planet-planet secara tepat, bahkan mereka dapat mengetahui terjadinya gerhana bulan setiap delapan belas tahun sekali. Dari peredaran bulan mereka mengetahui bahwa satu kali peredarannya rata-rata memakan waktu 29 dan seperampat hari dan bahwa penyimpangan dari rat-rata inipun ternyata berlangsung secara teratur dan periodik.
Pengetahuan tentang kedokteran telah lama dikenal di Babilonia. Pada masa kekuasaan Hammurabi ada peraturan bahwa seorang dokter boleh melakukan operasi terhadap penderita yang dirawatnya. Peraturan itu menyatakan bahwa apabilaseorang dokter berhasil mengoperasi ia mendapat hadiah yang besar, tetapi sebaliknya apabila ia gagal, ia mendapat hukuman dengan cara dipotong tangannya. Berdasarkan kepercayaan pada waktu itu suatu penyakit itu disebabkan oleh adanya roh jahat dalam tubuh manusia, sehingga untuk menyembuhkannya harus diupayakan agar roh jahat itu dapat dikeluarkan dari tubuh manusia yang sedang sakit. Dengan demikian pengobatan pada dasarnya ditujukan untuk mengusir roh jahat tersebut.
Orang –orang Babilonia pada umumnya adalah petani atau pedagang. Karena itu mereka mengenal pula cara pinjam meminjam uang, cara bekerja sebagai tengkulak dan sebagainya yang ada hubungannya dengan perdagangan. Selain itu mereka ada pula yang menjadi ahli dalam hal kerajinan tangan misalnya membuat sepatu, menyamak kulit, memotong batu, mengukir gading, membuat bata, porselen, tekstil dan lain-lain.